Sebelum membahas jenis strategi, ada beberapa pendapat strategi yang lebih cocok untuk digolongkan sebagai non-strategi, karena tidak memenuhi syarat untuk dianggap strategi yang sebenarnya.
Setiap anggota tim membuat strategi sendiri. Dalam pandangan ini, tidak ada perencanaan secara keseluruhan atau secara garis besar. Hanya taktik saja diutamakan. Misalnya, pernah ada yayasan misi dengan tiga pekerja di lapangan. Mereka membagi wilayahnya menjadi tiga, dan masing-masing pekerja mengambil satu wilayah. Lalu mereka secara tersendiri memutuskan pola pelayanan yang akan dipraktekkan masing-masing, tanpa berunding.
Sambil Jalan, tanpa Tujuan Utama
Sambil jalan membuat strategi, tanpa tujuan utama yang jelas. Pendapat ini sama sekali tidak menuntut perencanaan dan pandangan jauh ke masa depan. Kadang-kadang non-strategi mempunyai bentuk yang paling lucu. Pernah ada orang yang meraba-raba tanpa perencanaan atau tujuan dalam pelayanannya, tetapi pada akhir periode pelayanan ia menyiapkan strategi untuk menjelaskan apa yang sudah terjadi, seolah-olah semuanya sengaja direncanakan sejak semula.
Gabung
Gabung dengan yayasan lain. Ini bukan pembuatan strategi, melainkan keputusan untuk menerima strategi dari yayasan lain. Beberapa yayasan misi memperbantukan semua tenaganya ke lembaga lain, dan tenaga tersebut harus menyesuaikan pola pelayanan dengan strategi lembaga yang lain itu.
Asal Jalan
Dalam non-strategi ini, harapan tertinggi adalah untuk mempertahankan apa yang sudah ada. Tidak ada rencana atau harapan untuk kemajuan, dan pola pelayanan bersifat asal tidak bubar
. Kedengarannya mustahil, tetapi kata-kata yang mungkin didengar adalah: Tuhan menempatkan saya disini, dan saya akan setia sampai mati. Tetapi tempat ini sangat sulit untuk kemajuan Injil. Sudah ada beberapa jiwa berkumpul untuk berbakti dan yang terpenting adalah menggembalakan mereka. Sebagai gembala, salah satu tugas utama kami adalah menjaga keserasian jemaat suapaya tidak ada perselisihan. Ada beberapa orang pindahan masuk; ada yang undur karena masalah pribadi atau pindah ke lain tempat untuk bekerja, sehingga jemaat boleh dikatakan stabil. Memang pelayanan kami begini saja. Mau apa lagi?
Keputusasaan ini terwujud dengan peran utama yang diberikan kepada penggembalaan, sehingga pembukaan dan pendewasaan gereja baru condong terabai. Dalihnya, mereka mungkin ingin menguatkan gereja sesudah pertumbuhan yang pesat. Gereja yang macet menghalangi penggerak yang ingin mengadakan pelayanan keluar. Sikap ini tidak sesuai dengan Kisah Para Rasul. Rasul-rasul terus menginjili dan memberi ajaran setiap hari. (Kis.2:42,46,47, 6:1a,4)
Pesimisme tersebut sering dilatarbelangi oleh keadaan mental tertentu. Mestinya para utusan Injil mempelajari kebudayaan setempat untuk mencari kunci untuk masuknya Injil. Akan tetapi, yayasan tertentu malas untuk belajar kebudayaan lain karena menganggapnya kafir, penuh kebodohan, atau patut dihina; dapat diketahui sebelumnya bahwa mereka tidak mungkin berhasil. Seandainya mereka mencari kunci tetapi tidak berhasil menemukannya, mereka menjadi pesimistis. Tidak ada kreativitas atau kemauan untuk berubah, sehingga tim boleh dikatakan tidak berdaya.
Tanda pesimisme tersebut dalam gereja adalah sebagai berikut:
Demikianlah non-strategi. Mari kita melihat beberapa pendapat yang memenuhi syarat sebagai strategi.